MITOLOGI SANGIYA SERI (DEWI PADI) DALAM MASYARAKAT BUGIS BONE
Salah satu sumber informasi budaya yang sarat dengan unsur nilai-nilai budaya luhur ialah mitos atau mitologi.
Sejarah teori antropologi memuat catatan lengkap tentang tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari abad ke-19 sampai abad ke-20 yang pernah menciptakan karya besar, hasil pengkajian masing-masing terhadap sistem-sistem mitologi. Andrew Lang, misalnya yang telah meneliti mengenai folklor dan mitologi suku-suku bangsa dari berbagai daerah di muka bumi. Dari penelitian tersebut, Lang berhasil merumuskan teorinya tentang dewa tertinggi, seperti tertulis dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1898 dengan judul The Making of Religion (lihat karangan Koentjaraningrat, 1987:58).
Sama halnya dengan Andrew lang, Herbert Spencer seorang ahli Filsafat Inggeris (1820-1903) beranggapan bahwa dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia di dalam tingkat evolusi religi mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam bentuk tulisan (Koentjaraningrat, dalam Hamid, 1999: 2).
Salah satu mitologi masyarakat Bugis yang sampai sekarang tetap dianggap sacral, ialah mitos asal padi yang disebut Sangiaseri (dewi padi). Mitos ini termuat di dalam seri naskah kuno Lontarak galigo dan kisah pengembangan sang dewi padi itu sendiri termuat dalam kesusasteraan suci Galigona Meompaloe.
Dalam upaya menggali dan mengungkapkan jaringan sistem nilai-nilai luhur budaya Bugis yang dapat dikembangkan menjadi bahan kristalisasi pola-pola kebudayaan nasional Indonesia, maka sasaran pembahasan dalam artikel ini diarahkan pada tiga materi pokok. Pertama, asal-usul Sangiaseri menurut pemberitaan Lontarak Galigo. Kedua, pengembangan Sangiaseri menurut pau-paunna Meompaloe. Ketiga, bahasan tentang nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam Pau-paunna Meompaloe.
Dari ketiga materi pokok tersebut, ditarik beberapa kesimpulan dan dituangkan sebagai penutup dari seluruh rangkaian pembahasan artkikel ini.
Asal-usul Sangiasari Menurut Lontarak Galigo
Asal-usul Sangiaseri termuat dalam epos Galigo, serial Pammulanna Surek Galigo. Dalam epos tersebut tertulis sebagai berikut:
Transliterasi Terjemahan
Nalilu keteng We Saunriwu/ maka hamillah We Saungriwu/
Na Telluk Keteng Babuwana/ dan tiga bulan kehamilannya/
Nari puppunna cero datue/ diupacarakanlah sang janin/
Na pitumpulem pegam muwana babuwana/ dan tujuh bulan persis kandungannya/
Najaji tau/ maka lahirlah dia/
Napitumpenni muwa jajinna/ dan hanya tujuh malam/
Sesu-We Oddanriwu/ dah lahirnya We Oddanriwu/
Le na mapaddeng banampatinna/ lalu ia meninggal/
Nari sappareng alek karaja lalu dicarikan hutan belantara
tenri suwiyye/ yang tidak terjamah/
naritarowang gossali senri/ lalu dibuatkan pusaranya/
panrem-malilu/tatawengenna banampatinna tempat peristirahatannya (yang terakhir)
natellumpenni muwa matena hanya tiga malam sesudah
We Oddanriwu/
nacabbengiwi/ meninggalnya We Oddanriwu/
aruddaninna manurungnge Sang Manurung pun sangat
ri jajianna/ merindukan anaknya/
maka ri gossalinna sebbukatinna/ ia pun pergi ke pusara puterinya/
napoleiwi makkappareng ase ridiye didapatinya penuh padi menguning/
engka maeja/engka maridi/ ada yang merah/ada yang kuning/
engka mapute/engka malotong ada yang putih/ada yang hitam/
engka magau/ala engkaga lompok malowang/ ada yang biru/seluruh lembah nan luas/
Tanete malampe/bulu matanre/ padang nan panjang/gunung nan tinggi/
Tenna pennowi ase ridiye/ penuh dengan padi yang menguning/
Keram pulunna manurungnge/ berdiri bulum roma Sang Manurung/
Tenre ale na tuju nyilik I Gemetar badannya menyaksikan
Lemakkappareng ase ridiye padi menguning sejauh mata
Natijam muwa Batara Guru/ memandang/berdirilah Batara Guru
Mampaeri wi le tarau we/ meraih pelangi dan dilaluinya/
Le naolai menrek ri botilla- ke Petala Langit/
Natakkaddapi sennek Maka tibalah ia
Lolangeng ri ruwa Lette di negeri Ruwa Lette/
(………….) (………….)
Arekga sia puwang kuwae/ apa gerangan wahai paduka/
Le makkappareng /engka maridi ia memenuhi semua tempat/
Engka malotong/engka maeja/ ada yang kuning/ada hitam/ada merah/
Engka magauk/ ada yang biru/
Ala engka ga tanete malampe/ tidak ada padang nan panjang/
Lompok malowang tenna pennowi/ lembah nan luas yang tidak dipenuhinya
Kuwa adanna Patoto e/ demikian ucapan Patoto e
Iyanaritu anak/ riyaseng Sangiaseri/ itulah nak yang disebut Sangiyaseri
Ankmu ritu mancsaji ase/ yang menjadi padi/
Berdasarkan pemberitaan Lontara Galigo tersebut, dapat dikemukakan beberapa interpretasi sebagai berikut:
Pertama, Sangiaseri (Dewi padi) itu tidak lain adalah jelmaan dari arwah seorang bayi perempuan yang bernama We Oddanriwu. Bayi ini meninggal dunia hanya tujuh malam setelah dilahirkan ke dunia.
Kedua, We Oddanriwu yang kemudian menjelma menjadi padi, itu sebenarnya adalah putrid baginda Batara Guru dan permaisuri atau selirnya yang bernama Batara Guru sendiri dikenal pula dengan gelar To Manurungnge ri Luwu (Pen). Beliau adalah putra sulung sang dewa langit, Patoto e yang diturunkan sebagai tunas di atas bumi.
Batara Guru sendiri semula-mula tidak mengenal jenis tanaman padi yang tiba-tiba saja ditemukannya di seluruh pelosok negeri, memenuhi seluruh lembah dataran dan juga wilayah pegunungan. Tokoh Batara Guru sebagai manusia keturunan dewa baru mengetahui jenis tanaman padi itu setelah mendapatkan penjelasan dari ayahandanya, yaitu Dewa Patoto e (yang menentukan suratan takdir) atau disebut juga To Palanroe (Sang Pencipta) yang bertahta di singgasana kerajaan langit yang disebut Botil Langi (Petala Langit).
Dari certita mitologi tentang Sangiasari tersebut dapat diduga bahwa asal-usul padi di daerah Sulawesi Selatan kemungkinan besar pada mulanya berasal dari jenis tumbuhan liar yang tidak atau belum dibudidayakan oleh manusia. Ini sesuai dengan pemberitaan mitologi seperti dikemukakan di atas, bahwa: ditemukan padi menguning memenuhi seluruh lembah, padang luas dan pegunungan yang tinggi. Ada yang merah, ada yang kuning, ada yang putih, ada yang hitam, ada yang biru. Berdiri bulu roma Sang Menurung, badannya pun gemetaran menyaksikan padi menguning sejauh mata memandang (lihat Trans, dan terjemahan di atas).
Kemungkinan lain yang dapat disimpulkan dari mitos tersebut, ialah bahwa tokoh Sangiasari yang dilambangkan sebagai penjelmaan arwah We Oddanriwu, titisan dewa dari khayangan itu tidak mustahil adalah pendatang yang berasal dari suatu suku bangsa di suatu negeri yang memang sudah mengenal sistem pertanian pangan. Apabila dugaan ini benar, maka istilah Botillangi (Petala Langit) dalam sistem Kosmogoni masyarakat Bugis itu juga hanya merupakan simbol budaya yang melambangkan ketinggian budaya yang telah dicapai suku bangsa tertentu ketika itu.
Lepas dari soal benar atau tidaknya dugaan atau kemungkinan-kemungkinan interpretasi yang dilambangkan oleh tokoh Sangiasari tersebut, maka yang jelas bahwa masyarakat Bugis tertama yang bermata pencaharian sebagai petani di pelosok pedalaman, sejak lama memuja Sangiasari yang biasa juga disebut Datunna Ase (ratu padi). Dalam konteks ini sang tokoh Sangiaseri dianggap sebagai personifikasi jiwa alam. Bertolak dari anggapan tersebut, masyarakat petani yang tersebar luas di seluruh kawasan tanah Ogik (tanah Bugis) pun sebagian besar menonsepsikan Sangiaseri sebagai dewi yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran tersendiri.
Dari berbagai sumber kepustakaan dapat diketahui, bahwa kepercayaan tentang dewa-dewa memang termasuk salah satu gejala sosio relius yang telah banyak diungkapkan para ahli di abad yang lampau. Salah seorang di antaranya ialah W.Robertson Smith, ahli teologi, ahli imu pasti, serta ahli bahasa dan kesusteraan Smith yang hidup antara tahun 1846-1894.
Menurut gagasan tersebut, suku-suku bangsa di kawasan tanah Arab pada zaman yang silam memiliki pula kepercayaan terhadap dewa-dewa. Kepercayaan itu kemudian mendorong timbulnya berbagai ritus dan upacara persembahan sesajian, terutama untuk mendorong rasa solidaritas antara manusia dan para dewa. N.Soderblom, seorang teolog dan pendeta Khatolik di Swedia, sebaliknya beranggapan bahwa sistem kepercayaan masyarakat manusia kepada dewa-dewa itu merupakan perkembangan paling jauh dalam sejarah evolusi religi.
Teolog yang kemudian menjadi pendeta Khatolik tersebut menyatakan dalam bukunya berjudul Das Werden des Gottes Glauben (terjadinya keyakinan kepada Tuhan), antara lain bahwa keyakinan akan adanya dewa-dewa adalah keyakinan kepada makhluk-makhluk halus yang mempunyai kepribadian dan identitas sendiri, yang mempunyai wujud lebih nyata dan mantap dalam pikiran manusia. Kenyataan dan kemantapan wujud dewa-dewa itu, disebabkan terutama karena pengalaman dan tingkah laku dewa-dewa bersangkutan seringkali dilukiskan secara berulang kali dalam mitologi maupun dalam dongeng suci yang ada dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya.
Dalam usaha mengungkapkan makna budaya dari mitos Sangiaseri, khususnya dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Bugis, maka pembahasan berikut ini difokuskan pada kisah pengembaraan Sangiaseri.
Pengembaraan Sangiaseri Menurut Pau-paunna Meompaloe
Apabila asal-usul Sangiaseri dapat diungkapkan melalui mitos masyarakat Bugis yang telah dibakukan dalam naskah kuno Lontarak Pammulanna Surek Galigo, maka kisah pengembaraannya dapat dirunut melalui kisah atau dongeng suci yang disebut Pau-paunna Meompaloe.
Berdasarkan dongeng suci tersebut, maka kisah tentang pengembaraan Sangiaseri dapat dibagi dalam empat komponen bahasan, masing-masing dikemukakan secara berturut-turut di bawah ini:
a. Latar belakang pengembaraan Sangiaseri
Dikisahkan tentang keluh-kesah, pengalaman pahit dan penderitaan Sang Meompaloe (kucing belang) yang berkedudukan sebagai pengawal setia Sangiaseri. Seluruh penderitaan dan getiran hidup tokoh Meompaloe itu timbul akibat kebencian seluruh penduduk negeri, hanya karena sang tokoh menyambar (mencuri) seekor ikan batok. Agar jelmaan mengenai hal ini dapat dikemukakan cuplikan dongeng suci sebagai berikut:
….pole pasak e puakku, napoleang ceppek-ceppek, kuwalluruna sitak i dappinaro battoae, napep pekkak tonrong bangkung, puakku punna bolae, sala mareppak uluk-ku, sala tattere coccoku, sala tapes si matakku, mallalak majang suloku.
Kulari tapposo-poso, kulettukna ri Enrekang, takkad-dapi ri Maiwa, ukotikna dekke inanre, kugareppuk bukubale, kurirempeksi sakkaleng, kularimua maccekkeng, ripapenna dapurengnge de, napeppesikak pabberung, ppuakku tomannasue.
Mappanedding menessia, urek-urek marennikku, sining lappa-lappaku. Upabbalobo manenni, jennek wau matak-ku, ulari mangessu-essu, makkeppikengngi ulukku. Kularisimakkacuruk, ri awa dapurengngede, narorosi-kakro aju, puakku to mannasu e, kumabuang ri tana e
Napatitissikak asu, marukka wampng tau we, aro-wane makkunrai. Kulari mua maccekkeng, ri lebok palu-ngengngede, napeppessikkak ronnang alu, puakku pannampuk ede
Engka tona renreng bessi, narauk tona ro awo, kula-ri tapposo-poso, kukkuanak makkempek, ri aliri lettuede, kuselluk ri awa tennung, narorosikkak walida, puakku pattennungeng, kulari mangessu-essu, menrek ri asek rakkeangngede naolaiak, ro mai, puakku punna bola e, kularimuna menrek, ri coppokna lappo ede, massurukengngi ulukku ri olona itunek, datunna Sangiang Seri. Tennapa-jaga mattanro puakku punna bolae (Drs. Muh. Salim, 1980: 1-2).15
Artinya (terjemahan bebas)
… tuanku dari pasar, membawa ikan batok, saya lalu maju menyambar, dekatnya yang besar, dipukulnya saya dengan punggung parang, tuanku si pemilik rumah, kepalaku nyaris pecah, otakku nyaris berantakan, biji mataku nyaris tersembul keluar, penglihatanku berkunang-kunang.
Saya lari terengah-engah, sampai ke Enrekang, sampai tiba di Maiwa, saya lalu merogoh kerak nasi, menggerogoti tulang ikan, saya dilempar lagi dengan kayu, maka say segera lari pergi bertengger , di papan tuangku dapur, lagi-lagi saya dipukul dengan pabberung (potongan bamboo, alat, meniup api,), tuaku orang yang sedang memasak.
Terasa sakit semua, urat-urat kecilku, segenap tu-lang. sambil mencurahkan air mata , saya lari mendengus-dengus, menggeleng-gelengkan kepalaku. Saya berlari lagi menyusup di bawah tungku dapur, saya pun disodok lagi dengan kayu, oleh tuanku yang sedang memasak, sehingga saya jatuh keatas tanah, saya diterjang lagi ole hanging, gegerlah orang sekampung, laki-laki maupun wanita. Maka larilah saya pergi bertengger diatas lesung, saya lagi –lagi dipukul dengan antan oleh tuanku yang seeding menumbuk padi.
Ada pula yang menyeret tombak, saya disodok pula dengan bamboo, maka saya lari terengah-engah, lalu aya memanjat melalui tiang yang sampai ke bubungan, kemudian menyusup kebawah tenun-an, saya lagi-lagi ditusuk dengan walida(alat tenun berpipih panjang dan runcing) oleh tuanku si pene-nun, lalu saya lari ketala-tala sambil mendengus-dengus, namun yang punya ikan betook itu tidak henti-hentinya mengejar, maka saya pun terus berlari naik keloteng. Tuanku pun yang punya rumah menyu-sulku, maka saya lari keatas lumbung padi, sambil menyusupkan kepalaku di hadapkan itunek, sang Ratu Padi, namun tuanku si pemilik rumah tidak henti-hentinya menyumpah-nyumpah.
Dari cuplikan dongenng suci Pau-Paunna Meompalo tersebut di atas terlihat bahwa pada suatu waktu, pengawal setia Sangiya Seri menyambar seekor ikan betook milik tuan (majikan) nya baru pulang dari pasar. Akibatnya, sang Meompalo itu dipukul kepalanya dengan menggunakan pung-gung parang. Demikianlah kerasnya pukulan tersebut, sehingga tokoh Maempalo merasa batok kepalanya nyaris pecah otaknya pun seolah-olah pun akan berceceran dan biji matanya terasa hampir-hampir saja tersembul keluar.
Mengalami siksaaan seperti itu, sang kucing belang pun melarikan diri keberbagai arah. Namun, siempunya ikan betook tadi tidak bosan-bosannya mengejar. Setiap kali kucing belang itu berhasil bersembunyi di bawah tungku dapur, penduduk pun menyodoknya dengan kayu atau bambu. Setelah gagal menyelamatkan diri ditempat-tempat persembunyian tertentu, akhirnya sang kucing belang itu pada akhirnya lari ke loteng dan naik ke atas lumbung padi, dimana Sangiya Seri sedang tidur.
Kendati tokoh cerita, Meompalo si kucing belang itu sudh menyembunyikan kepalanya di hadapan Sangiya Seri yang sedang tidu pulas, namun si pemilik rumah masih tetap mengumpat dengan sumpah serapahnya. Suara hiruk-pikuk penduduk negeri yang sedang geger ditambah pula dengan sumpah –serapah si pemilik rumah tersbut sempat membengunnkan Sangiya Seri dari tidurnya, sehingg dia menjadi murka atass perlakuan penduduk negeri itu. Akibatnya Sangiya Seri mengambil keputusan untuk segera pergi meninggalkan negeri itu, sebagaimana tertera dalam transliterasi dibawah ini:
… pusedding maneng koritu, sining ase maega e. aja taonro mapeddi, ri luse asorengnge de, talao pali aleta, tekkuleni monro ade, napittoki ede manuk, apak meongngemmisia kirennuang mampiriki., maddojaiki esso wenni, tikkengngi balao ede, tenna marunu uleku, wesse kati passeota. Idikmi sia memperiwi, sininna tokawaede, naia na riagelli, mabacci talallo-lallo, matowa paddiumae, massituruk bacci maneng, sining lisek langkana e, mabacci ri meongnge de, orowane makkunrai (Ibid:3).
Artinya (terjemahan bebas)
… terjagalah ketika itu, segenap padi yang banyak. Janganlah kita tinggal menderita, di bawah atap ini, mari kita pergi mengasingkan diri. Saya tidak sanggup lagi tinggal, dicotok ayam, dikuliti oleh tikus sebab hanya si kucing jualah diharapkan menjaga kita, menunggui kita siang malam, menangkap tikus, sehingga butir kita tidak berhamburan, tidak terurai ikatan kita. Hanya kitalah memuaskan kebutuhan makana, segenap penduduk bumi, tetapi dia (si kucing) lah yang dibenci. Pemimpin rakyat kelewat murka, demikian pula segenap isi istana semua murka kepada sang kucing, laki-laki maupun perempuan.
Kutipan tersebut melambangkan kemarahan Sangiyaseri atas tindakan sewenang-wenang dan kemurkaan penduduk negeri terhadap sang kucing belang. Padahal, menurut si dewi padi, merekalah yang menjadi santapan untuk memenuhi kebutuhan hidup segenap manusia di bumi, sedangkan sang kucing belang itu tidak lain adalah pengawal setianya, maka saat itu juga Sangiyaseri mengajak seluruh abdinya pergi meninggalkan negeri itu.
Jelaslah bahwa dalam kehidupan sosio religius masyarakat Bugis, hewan kucing itu dianggap sebagai binatang sakraldan tidak pantas dihukum atau didera, hanya karena mencuri seekor ikan betook. Membenci dan mendera kucing, berarti tidak menghormati Sangiyaseri. Ia berkata Ngilimmua makkeda datunna Sangiya Seri, naiapa taonroi, malempu e namapato. Tekkua tudang maradde.....artinya, lalu berkatalah Sangiya Seri, maka kita hanya akan menempati orang yang jujur dan rajin. Di situlah kita bertempat tinggal.
b. Sangiaseri mengembara dari satu negeri ke negeri lain
Sangiyaseri berjalan sekian lama meninggalkan negeri itu untuk mencari negeri lain, akhirnya ia pun tiba di negeri Maiwa, langsung ke rumah Pabbicara Sulewatang (raja lokal) Maiwa. Ketika itu, anak-anak di rumah tersebut sedang makan. Mereka menyuap dengan nasi yang berhamburan, menyendok dari kuali dengan nasi berserakan, sedangkan ibundanya tidak merunduk memungutnya. Ia pun tidak sudi dinasehati oleh teman-temannya, melainkan ia berkeras tidak peduli, lalu menangis sambil menghentak-hentakkan kakinya, menggerundel tiada henti-hentinya, menggaruk-garuk kepalanya. Bercucuran keringatnya, ingusnya pun meleleh dari kedua lubang hidunagnya. Piringnya dilemparkan, sehingga nasinya terhambur ke kiri dan ke kanan. Dengan perlakuan seperti itu, Sangiyaseri mengajak pengawal-pengawalnya meninggalkan negeri itu (Negeri Maiwa).
Pada saat tiba di Negeri Lengkemme, berkatalah Sangiyaseri kepada seluruh pengiringnya bahwa ia tidak ingin menetap di negeri itu karena tidak menyukai perbuatan buruk, menyumpahi anaknya, dan mereka tidak mau rukun dalam rumah tangganya.
Pada akhirnya ia tiba ke rumah milik pabbicara Berru sambil menebarkan aromanya yang harum. Istri sang pembicara tersebut bersama anak-anaknya segera mebukakan tutup cerek, lalu mempersilahkan Sangiyaseri membasuh kaki, kemudian menebarkan berti untuk menyambut kedatangan segenap padi yang banyak.
c. Sangiaseri naik ke Petala Langit
Sangiyaseri menunduk sambil menangi, lalu berkata tinggallah di negeri kediaman kalian, dan biarlah saya terus naik ke petala langit menemui ayahandaku. Sejauh ini Sangiya Seri bersikeras tidak sudi kembali ke dunia, namun setelah dibujuk, diminyaki dan didupa-dupai oleh ayahandanya. Akhirnya Sangiya Seri menjadi tenang kembali perasaannya. Ia pun akhirnya patuh atas nasehat ayahandanya, untuk kembali ke dunia. Demikianlah, maka Sangiya Seri bersama segenap padi yang banyak diiringkan dengan Guntur bersahut-sahutan, geledek yang sambung-menyambung, dan kilat yang sambung-menyambung. Penduduk pun menyambut kedatangan Sangiya Seri.
Nilai-nilai Luhiur yang Terkandung Dalam Mitos Sangiya Seri
Apabila mitos pengembaraan Sangiya Seri seperti diungkapkan di muka dikaji secara cermat, maka akan terlihat adanya berbagai cerita yang bukan hanya kurang logis, tetapi juga amat sulit ditelusuri dengan akal pikiran. Namun di lain sisi terlihat pula adanya fenomena yang menggambarkan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis pada zaman lampau. Fenomena yang cukup menonjol dalam mitos tersebut, antara lain seperti kehidupan religi, ekonomi, solidaritas sosial, serta nilai-nilai budaya luhur yang dianggap luhur oleh masyarakat pendukungnya.
Jaringan nilai-nilai budaya luhur yang termasuk dalam mitos di atas dapat dirinci sebagai berikut:
1. Nilai ekonomi
Salah satu fenomena kehidupan sosial budaya yang termuat dalam mitos Sangiya Seri ialah perilaku ekonomi. Menurut mitos tersebut, masyarakat Bugis di zaman lampau umumnya hidup sebagai petani yang diistilahkan pallao ruma. Dalam kaitan ini petani Bugis secara ideal menerapkan beberapa nilai utama, yaitu:
a. Nilai Usaha (etos kerja)
Salah satu nilai utama yang senantiasa ditanamkan oleh setiap petani Bugis ialah kesadaran dan keikhlasan untuk melakukan proses produksi pertanian tanpa mengenal lelah dan bermalas-malasan. Refleksi dari nilai usaha atau etos kerja para petani Bugis tercermin pada istilah mapato (rajin) sebagaimana tertera dalam kutipan berikut:
Ngilimmua makkeda datunna Sangiya Seri, naiapa taonroi, malempu e namapato. Tekkua tudang maradde.....
Artinya (Terjemahan Bebas)
Lalu berkatalah Sangiya Seri, maka kita hanya akan menempati orang yang jujur dan rajin. Di situlah kita bertempat tinggal.
Berdasarkan kutipan tersebut, maka sifat pemalas termasuk salah satu sifat yang dipandang menyimpang dari etos kerja atau nilai usaha. Ini berarti pula bahwa setiap petani Bugis diharapkan memiliki sifat rajin, sebagai syarat minima untuk mengekspresikan konsep nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-hari.
b. Hemat dan Cermat
Dalam kaitannya dengan proses konsumsi, petani Bugis sejak zaman dahulu memandang sifat hemat dan cermat dalam memanfaatkan bahan makanan selain padi/beras, seperti tertera dalam naskah kuno sebagai berikut:
Kuwa adanna patoto e/ iyanaritu anak riyaseng Sangiya Seri/ Anakmu ritu mancaji ase/ Nonno muwono ri yale lino Batara Guru/ le muwalai/ Mupaenrek ri langkana e/ le ajak sana muwajjelek i/ naiyya sana ritu mujellek le wettengnge bate e/
Artinya:
Demikian ucapan Patoto e. Itulah nak yang dinamakan Sangiya Seri. Anakmu menjelma menjadi padi. Turunlah engkau ke bumi wahai Batara Guru. Ambil dan bawalah dia naik ke istana. Jangan dulu engkau memakannya. Makanlah dulu jawawut dan jagung.
Berdasarkan kutipan di atas, jelaslah bahwa petani Bugis pada zaman dahulu tidak hanya memanfaatkan padi sebagai bahan makanan utama, tetapi juga memanfaatkan bahan makanan lain, seperti jagung dan jawawut. Dalam konteks ini penggunaan biji padi sebagai bahan konsumsi harus dihemat, antara lain dengan cara memanfaatkan bahan makanan jawawut maupun jagung. Apabila persediaan kedua jenis makanan tersebut telah habis, barulah petani memakan biji padi yang taada di lumbung.
2. Nilai religi
Mitos Sangiya Seri tidak hanya memuat nilai ekonomi seperti yang telah diungkapkan di atas, tetapi juga sarat dengan nilai religi. Dalam hal ini masyarakat Bugis tertama petani di zaman lampau merupakan penganut kepercayaan animism dengan objek pemujaan baik berupa roh nenek moyang maupun dewa atau sangiang.
Menurut sistem kepercayaan tradisional di kawasan daerah Bugis dikenal adanya dewa tertinggi, di samping dewa-dewa alam. Dewa tertinggi disebut dewa seuwae (dewsa yang tunggal). Dewa ini disebut juga dengan nama patoto e (yang menentukantakdir), to palanroe (yang menciptakan) yang bertahta di singgasana kerajaan langit, yakni botillangi (petala langit).
Dewa-dewa alam, sebaliknya dikenal pula sebagai unsur titisan dewa yang bertempat tinggal di sekeliling tempat kediaman manusia, antara lain seperti dewi padi yang dalam masyarakat Bugis disebut Sangiya Seri. Sangiyang ini pada mulanya dititiskan melalui kandungan We Sawunriwu (salah seorang isteri Batara Guru).
Masyarakat Bugis sebagian besar sangat menghargai, menghormati dan memuliakan biji padi. Sehubungan dengan itu pula, kelompok masyarakat petani di wilayah pedesaan hingga sekarang masih banyak yang melakukan upacara ritual yang bertalian dengan kegiatan pertanian.
3. Nilai solidaritas
Perlakuan masyarakat petani tehadap Sangiya Seri mengandung pula nila-nilai solidaritas yang sangat positif dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan warga, baik di lingkungan rumah tangga dan keluarga maupun di lingkungan sosial kemasyarakatan. Refleksi dan nilai-nilai solidaritas tersebut tercermin pada nilai-nilai utama sebagai berikut:
• Sabbarak mappesonae ri padanna ripancaji (sabar penuh pasrah kepada sesame makhluk)
• Tessisumpalak wukka timue (tidak saling membantah)
• Ajak mumasokka timu (jangan sinis, kasar dalam bertutur kata)
• Ajak mupegauk ceko-ceko (jangan berbuat curang)
• Ajak nacekka atimmu (jangan berlaku khianat)
• Ajak mualai tengnganummu (jangan ambil kecuali milik sendiri)
• Malempuk namalabo (jujur dan pemurah)
• Ajak muangkaga ri bolamu (jangan bertengkar dalam rumahmu)
• Pakkatunai alena (merendahkan diri sendiri)
• Pakarajai semperu sempanuanna (memuliakan keluarga dan sesame warga kampung)
• Temmangempuru atinna ri bali bolana (tidak iri hati terhadap keluarganya)
• Situju nawa-nawa (seia sekata)
• Ajak mutanro-tanroi anakmua (jangan menyumpahi anakmu)
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa masyarakat petani di daerah Bugis sejak zaman lampau hingga sekarang tetap menganggap tinggi nilai-nilai solidaritas yang berorientasi pada perdamaian dan kerukunan hidup antar sesame warga masyarakat. Kerukunan dan kedamaian tersebut hanya mungkin dicapai apabila sebagian besar masyarakat bersangkutan mau melakukan nasihat baik dan meninggalkan pantangan-pantangan Sangiya Seri.
Kesimpulan dan Saran-saran
Mitos Sangiya Seri adalah salah satu unsur mitologi masyarakat Bugis yang termuat dalam epos Galigo maupeun di dalam Pau-paunna Meompaloe. Mitos ini mengisahkan tentang asal-usul Sangiya Seri yang konon ceritanya tidak lain adalah manusia titisan dewa, puteri Batara Guru dari isterinya yang bernama We Saunriu. Sangia Seri itu sendiri pada saat lahir bernama We Oddanriu, kemudian menjelma menjadi ratu padi setelah meninggal dunia, hanya dalam usia dalam tujuh hari.
Mitos Sangiya Seri bukan hanya merupakan dongeng yang dimanfaatkan sebagai media hiburan dalam masyarakat pendukungnya di bilangan tanah Ogi, tetapi juga merupakan sumber informasi nilai-nilai budaya luhur, warisan leluhur dari zaman lampau.
Nilai-nilai utama yang cukup menonjol dalam mitologi ini mencakup nilai ekonomi yang berorientasi kepada pembinaan kesejahteraan masyarakat petani. Nilai utama lainnya terdiri atas nilai religi yang berorientasi kepada pemujaan dewata Seuwae maupun pemujaan Sangiya Seri yang bersifat animistis. Akhirnya nilai solidaritas yang sangat potensial terutama di dalam rangka usaha pembinaan persatuan dan kesatuan sosial yang penuh kerukunan dan kedamaian.
Menyadari pentingnya nilai-nilai budaya luhur yang termuat dalam mitos tersebut, perlu adanya usaha dari pihak-pihak terkait, untuk menyebarluaskan informasi tersebut ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik sebagai bacaan ringan maupun sebagai sumber pengetahuan umum tentang warisan budaya luhur di zaman lampau. Penyebarluasan informasi tersebut dapat pula merangsang minat kaula muda, untuk mencintai sastra daerah bersama seluruh unsur kebudayaan daerah yang termuat dalam mitos Sangiya Seri.
0 Comments