Advertisement

header ads

TRADISI PETANI BUGIS ( MAPPADENDANG)



 TRADISI PETANI BUGIS ( MAPPADENDANG)
Mappadendang merupakan upacara syukuran panen padi dan merupakan adat masyarakat bugis sejak dahulu kala. Dilaksanakan setelah panen raya biasanya memasuki musim kemarau pada malam hari. Komponen utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung, alu, dan pakaian tradisionil yaitu baju Bodo.

Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut Pakkindona, sedang pria yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut Walasoji. Upacara biasanya berlangsung hingga tengah malam, namun untuk acara tertentu dilakukan di siang hari, misalnya untuk pembukaan acara dan pertunjukkan bagi tamu asing atau wisatawan



Mappadendang dan kisah modernisasi pertanian

Tradisi ini sudah berjalan turun temurun. Tiap musim panen tiba, semua orang melakukan mappadendang. Tapi, sejak tak ada lagi pare riolo dan katto bokko, ritual panenan itu jarang dilakukan. Pare riolo adalah sebutan padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi. Lebih panjang ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek.

Saat musim panen tiba para warga biasanya memotong ujung batang padi dengan ani-ani, yang menyerupai sebuah pisau pemotong berukuran kecil. Biasanya setelah terkumpul lantas padi hasil panenan itu dirontokkan dengan cara menumbuk dalam sebuah lesung. Suara benturan antara kayu penumbuk, yang disebut alu, dan lesung ini biasanya terdengar nyaring. Membentuk irama ketukan yang khas rancak bertalu-talu. Gerakan dan bunyi tumbukan berirama inilah yang menjadi asal-usul seni mappadendang. Tradisi ini turun temurun. Sampai akhirnya lambat laun mulai ditinggalkan setelah pemerintah menggulirkan program intensifikasi pertanian untuk mendongkrak produktifitas ekonomi nasional.

Ritual semacam mappadendang sebenarnya bukan hanya dikenal di daerah Kalabbirang. Di sejumlah tempat yang penduduknya bergantung dari hasil usaha bertani umumnya mengenal ritual bercocok tanam. Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang.

Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. “Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan,” kata Ali yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional. Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam, pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada dan bisnis pertanian ini. Segala cara dilakukan para penyuluh dan pegawai Bimas, melalui ancaman maupun paksaan, agar para petani menjalankan program bimas. Kelompok-kelompok petani dibentuk. Modernisasi sistem pertanian dilancarkan. Hingga pengenalan varietas baru yang disebut-sebut sebagai ‘bibit unggul’ itu wajib ditanam.

Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Seperti padi Shinta, Dara, Remaja, yang merupakan produk persilangan yang dikeluarkan Lembaga Pusat Pertanian (LP-3) Bogor. Atau varietas unggul ­baru macam IR-5 dan IR-8 yang dikenal dengan PB-5 dan PB-8 yang hasil rekayasa Rice Researce Institute (IRRI). Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.

Seiring dengan modernisasi sistem pertanian dan orientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani. Tak ada lagi katto bokko. Tidak pula kelong pare dan mappadendang. Bersamaan dengan itu tiada lagi penghargaan terhadap sumber kehidupan. Praktek menanam tidak berurusan dengan anugerah Sangiyang Sri seperti yang diyakini selama ini. Tapi soal bagaimana produk pertanian dapat mengejar target produksi nasional yang diharapkan para penyuluh pertanian.



Sewu Api, Upacara Adat Tahunan Suku Lio

.          
Sewu Api dalam bahasa Lio, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur,  berarti memadamkan api.  Sewu Api merupakan sebuah upacara adat, yang diselenggarakan setiap akhir tahun oleh Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende.  Upacara Adat Sewu Api bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau dan mengawali musim tanam.  Selain itu, acara ini untuk syukuran atas keberhasilan sekaligus mendoakan kesuburan pada musim tanam yang akan datang.

Mosalaki, pemegang hak ulayat

Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende, pada akhir Desember 2007 lalu, melaksanakan upacara adat yang dikenal dengan nama Sewu Api.  Penyelenggara utama kegiatan ini adalah pemimpin adat.  Struktur pemimpin adat terdiri dari para Kepala Adat atau Mosalaki Puu, Petinggi Adat atau Mosalaki Ria Bewa (semacam perdana menteri), serta melibatkan masyarakat umum, yakni para penggarap lahan pertanian yang disebut Ana Kalo Fai Walu.

Di dalam struktur adat, Mosalaki Puu dan Mosalaki Ria Bewa adalah pemegang hak ulayat atas tanah-tanah adat.  Mereka memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengatur pembagian penggarapan lahan oleh masyarakat.  Para pemimpin adat ini, baik Mosalaki Puu maupun Mosalaki Ria Bewa mengelola tanah-tanah ulayat dari kelompok-kelompok adat yang disebut dengan Embu.  Di dalam Suku Lio sendiri ada beberapa kelompok adat yang disebut dengan istilah Embu, antara lain Embu Siga, Embu Mosa, Embu Lesu, Embu Wumbu Raja, Embu Ndaru Roi, dan lain sebagainya.  Setiap Embu melaksanakan kegiatan Sewu Api pada hari yang berbeda-beda.  Tetapi, biasanya dilaksanakan sepanjang akhir bulan Desember.  Biasanya sesudah hari raya Natal hingga 1 Januari.

Secara umum tidak ada perbedaan prinsip dari prosesi adat yang dilakukan masing-masing Embu.  Ketika mengikuti Sewu Api dari Embu Wumbu Raja, dengan pimpinan adat tertingginya, Yang Mulia Bapak Yoseph Naga Budhi, saya dapat mencermati tahapan-tahapan inti dari prosesi tersebut.  Sehari sebelum acara puncak, para pemimpin adat mengundang seluruh masyarakat untuk menyerahkan sebagian kecil hasil buminya.  Kegiatan pada hari itu dalam bahasa adat disebut dengan Kero Are.  Biasanya yang diserahkan adalah beras sebanyak 5-10 kg, satu ekor babi, moke atau arak beberapa botol, yang semuanya tergantung pada luasnya lahan garapan.

Kero Are dilakukan sebagai upeti untuk diserahkan kepada Mosalaki.  Kegiatan Kero Are atau pembayaran upeti dilakukan oleh seluruh penggarap dengan mendatangi rumah induk atau Kuwu.  Pada saat yang sama pula para petinggi adat melakukan pertemuan awal guna membahas draft sejumlah persoalan yang berhubungan dengan pertanahan.  Bahkan menghimpun poi atau denda dari anggota masyarakat yang sebelumnya menggarap lahan pertanian tanpa sepengetahuan Mosalaki.   Draft tersebut akan diajukan keesokan harinya pada upacara puncak Sewu Api.

Selama dua hari kegiatan inti Sewu Api, anggota masyarakat maupun pimpinan adat tidak boleh melakukan kesalahan-kesalahan prinsipil seperti membuat kericuhan, melecehkan kebijakan pemimpin adat atau bekerja di ladang.  Jika ada kesalahan, maka denda atau poi akan dikenakan dalam bentuk satu ekor babi, yang diserahkan setelah upacara adat, untuk kebutuhan Sewu Api tahun berikutnya.

Kegiatan utama pada acara puncak adalah Sidang Tingkat Tinggi Dewan Adat.  Mereka menempati Kuwu atau Rumah Adat Utama untuk membicarakan semua persoalan yang berkaitan dengan adat.  Biasanya berfokus pada masalah pertanahan, terkait tapal batas, pembagian, dan kewajiban-kewajiban para penggarap.  Kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat antara Mosalaki Puu dengan Mosalaki Ria Dewa, yang sedapat mungkin dapat diselesaikan pada saat itu juga.  Jika mereka saling melecehkan dan tidak menghargai, maka tindakan denda atau poi di kalangan mereka sendiri bisa saja dilakukan (asas persamaan di depan hukum).

Serabi Kocor Bandung

Desa Bandung, Kecamatan Playen, Gunung Kidul INDONESIA

Bandung merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Playen, Gunung Kidul. Penduduk di desa Bandung sebagian besar hidup dari bertani. Di wilayah ini pula, terdapat sebuah upacara adat yang erat kaitannya dengan pertanian, yaitu upacara Serabi Kocor. Upacara Serabi Kocor merupakan upacara yang dilakukan petani dengan maksud dan tujuan meminta hujan. Hal ini diadakan saat kemarau panjang, pada hari Jumat Legi.

Selain untuk meminta hujan, penduduk Desa Bandung juga memperingati kelahiran tokoh mitos desa Bandung yaitu Eyang Andansari, seorang wanita yang konon katanya, memberi dan membuat sendang untuk menopang hidup penduduk desa Bandung. Sendang tersebut terletak di dusun Kanoman. Dalam upacara Serabi Kocor, masyarakat petani Bandung memitoskan Eyang Andansari yang pekerjaannya sehari–harinya mencari air ke Segara Kidul (Laut Selatan) dengan menggunakan keranjang. Apabila dinalar, keranjang yang berlubang itu tidak dapat menampung air, artinya akan mengocor keluar dari lubang dan membasahi tanah. Namun Eyang Andansari dapat membawa air dari Segara Kidul untuk sendang untuk penduduk Desa Bandung.

Serabi Kocor sendiri merupakan makanan yang dibuat dari tepung beras yang berwarna putih, menggambarkan bentuk payudara (buah dada wanita). Air susu yang dihasilkan dari payudara tersebut merupakan makanan pokok manusia ketika masih bayi. Sekaligus juga sebagai perlambang agar manusia tersebut kelak tumbuh dengan baik. Serabi Kocor dihadirkan untuk melambangkan bahwa air susu ibu keluar deras mengucur sehingga si anak sehat. Serabi Kocor yang diberi juruh gula kelapa merupakan kiasan tanah pertanian yang mendapatkan kucuran air hujan akan menjadi subur seperti anak yang tumbuh sehat karena minum air susu ibu.

Pelaksanaan pada hari Jumat Legi tersebut, dilakukan setiap kepala keluarga dengan membuat serabi kocor dan dibawa ke Sendang Bandung di Dusun Kanoman. Mereka berkumpul di sendang dengan pimpinan Kaum atau Rois setempat. Kemudian mereka berdoa bersama dengan ujub kepada Yang Maha Agung melalui Eyang Andansari, untuk memohon agar diberi hujan.

Setelah pembacaan doa selesai para peserta makan bersama di Sendang Bandung dengan saling menukar bawaan masing–masing, jika masih dengan membawa pulang untuk berkat, maka selesaiah upacara Serabi Kocor di desa Bandung.

Petani Gunungkidul Gelar “Cing-cing Goling”



KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para petani di Desa Gedangrejo,  Gunungkidul, DIY, Kamis, menggelar upacara adat “cing-cing goling” yang ditandai dengan penyajian lebih dari delapan ratus ayam panggang sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen tahun ini.

Tokoh adat Desa Gedangrejo, Prayogo mengatakan setelah warga beserta pemangku adat desa berdoa untuk keselamatan seluruh penduduk dan kesejahteraan petani dalam ritual “cing-cing goling”, ratusan ayam panggang, lauk pauk dan nasi dibagikan kepada para pengunjung serta masyarakat  dekat bendungan.

Ia mengatakan, selain penyajian ayam panggang, dalam upacara adat ini juga ditampilkan cerita rakyat yang disajikan dalam bentuk fragmen.

“Cerita rakyat ini mengisahkan pelarian prajurit Majapahit, Wisang Sanjaya dan Yudopati,  yang  membuat bendungan di aliran Kali Dawe, bendungan itu digunakan untuk mengairi lahan pertanian,” katanya.

Ia mengatakan, Wisang Sanjaya dan Yodipati bersatu dengan warga setempat untuk mengusir penjahat di sekitar Desa Gedangrejo, pada adegan ini puluhan orang berlarian menginjak-injak tanaman pertanian di lahan pertanian sekitar bendungan.

Berdasar kepercayaan masyarakat tanaman yang diinjak-injak saat upacara “cing-cing goling” akan bertambah subur.

“Adegan yang menceritakan pelarian majapahit ini dimainkan oleh 24 pemain yang menceritakan pelarian Wisang Sanjaya dari pusat Kerajaan Majapahit saat diperintah Brawijaya V hingga menetap di wilayah Gedangrejo Gunungkidul,” katanya.

Menurut dia, Wisang Sanjaya dan warga setempat bergotong-royong untuk membuat bendungan dengan peralatan sederhana, saat ini bendungan itu dikenal dengan Bendungan Kali Dawe yang masih digunakan warga untuk mengairi areal pertanian di wilayah itu.

“Pada zaman penjajahan Belanda, bendungan itu pernah dibangun kembali dan hingga sekarang masih berfungsi sebagai irigasi pertanian di wilayah Kecamatan Karangmojo,” katanya.

Wakil Bupati Gunungkidul Badingah yang hadir dalam upacara tradisional ini mengatakan, tradisi “cing-cing goling”  merupakan upacara tradisi yang harus dijaga kelestariannya.

“Pemerintah Kabupaten  Gunungkidul di masa yang akan datang akan mengemas upacara tradisi ini sebagai produk wisata andalan,” katanya.

Ia mengatakan, upacara tradisional ini tidak hanya dapat dinikmati warga desa, tetapi juga diharapkan mampu mendatangkan wisatawan baik nusantara maupun manc

Post a Comment

0 Comments