Advertisement

header ads

Arsitektur Rumah Pada Masyarakat Bugis Dan Pemaknaannya

Salam Yupinter.com tentu rumah tempat Di mana seseorang dapat berlindung, tempat  yang menjadi sumber inspirasi, nah kali ini penulis akan berusaha mengupas tentang arsitektur rumah pada masyarakat bugis dan pemaknaannya.

Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, mempunyai kecenderungan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya secara fisik merupakan titik tolak untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. Salah satu kebutuhan tersebut adalah rumah. Perkembangan rumah sebagai tempat berlindungan dan beraktifitas terkait erat dengan latar belakang sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Kali ini kita akan membahas tentang arsitektur rumah pada masyarakat bugis dan pemaknaannya, pada umumnya  Rumah panggung kayu mewakili sebuah tradisi yang bertahan lama bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Bentuk dasar rumah adalah sebuah kerangka kayu di mana tiang menahan lantai dan atap, dengan dan lantai dan atap diri pelbagai bahan, keanekaragaman bahan kian meningkat dalam dunia kontemporer setelah pendirian rumah menjadi kian dimodifikasi. Rumah adat kayu mencerminkan sebuah estetika tersendiri yang menjadikannya objek budaya materil yang indah.
Rumah pada masyarakat Bugis memiliki atap (pangate’) dua latar yang disatukan dengan sebuah bubungan lurus (alekke’). Dindingnya (renring) terbuat dari bahan ringan, sementara lantainya (salima) berjarak sekitar dua meter kadang-kadang lebih dari permukaan tanah, dan kolong rumah (awa bola) biasanya dibiarkan terbuka. Rangka rumah terbuat dari sambungan kayu tanpa menggunakan pasak atau paku (suatu teknik yang tergantung kepada tersedianya alat pertukangan yang dibutuhkan, sehingga berhubungan langsung pula dengan perkembangan kepandaian pengolahan besi penduduk setempat). Tiang rumah (alliri) bertumpu di atas tanah dan berdiri hingga ke loteng serta menopang berat atap. Pada setiap tiang dibuat lobang segi empat untuk menyisipkan balok pipih penyangga lantai (arateng) dan balok pipih penyangga loteng (ware’), yang menghubungkan panjang rangka rumah. Selain itu, pada setiap tiang dibuat pula lubang segi empat tepat di bawah lubang tadi untuk menyisipkan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga lantai (pa’tolo’ri awa) dan balok pipih yang menyilang di bawah penyangga loteng (pa’tolo’ ri ase’), yang menghubungkan lebar rangka rumah.
Rumah Bugis memiliki struktur dasar yang terdiri dari tiga kali tiang (tiga barisan tiang memanjang dan tiga baris melebar) berbentuk persegi panjang dengan satu tiang di tiap sudutnya, dan pada setiap sisi terdapat satu tiang tengah, serta tepat di tengah persilangan panjagn dan lebar terdapat tiang yang disebut “pusat rumah” (posi’ bola). Umumnya, rumah orang biasa terdiri atas empat tiang untuk panjang dan empat tiang untuk lebar rumah. Pada sisi panjang (bagian samping badan rumah) biasanya ditambahkan tamping, yakni semacam serambi memanjang yang lantainya sedikit lebih rendah, dengan atap tersendiri; pintu masuk bagian depan berada di ujung depan tamping dan—jika ruang dapur tidak terpisah—dapurnya berada di ujung belakang tamping. Kalaupun ada tambahan lain, dengan rancangan lebih kompleks, bentuk segi empat tetap jadi pola dasar.
Rumah orang Bugis terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah Awa Bola, Ale Bola, dan Rakkeang. Secara secara struktural fungsional Pandangan kosmologis suku Bugis mengganggap bahwa makrokosmos (alam raya) ini bersusun tiga tingkat yaitu: Boting langi’ (dunia atas), Ale Kawa (dunia tengah), dan Uri liyu (dunia bawah), dan segala pusat dari ketiga bagian alam ini adalah Boting langi’ (langit tertinggi) tempat Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam, Pandangan tiga tingkat rumah Bugis ini, sebagai bentuk ekspresi penyembahan kepada tiga dewa yang menguasai tiga dunia dalam pandangan Bugis. Agar hubungan umat dengan dewa tetap baik, maka perlu ada tata laku penyembahan kepada tiga dewa tersebut. Dalam rumah Bugis penyembah Dewa Langi’ diadakan di toleng rumah (rakkeang) dengan sesajen. Rakkeang sebagai tempat yang tertinggi. Penyembahan Dewa Malino dianggap berdiam di Ale Bola (badan rumah) juga dalam bentuk sesajen. Begitu pun Dewa UwaE, penyembahannya dalam bentuk sesajen dan dianggap bersemanyam di Awa Bola (kolong rumah).
Dalam rumah Bugis, umumnya upacara-upacara keagamaan dilakukan pada bagian ale bola (badan rumah), karena bagian ini dianggap sebagai dunia (alam semesta—lino). Dalam kosmogonis suku Bugis, lino atau alam semesta digambarkan dalam bentuk sulapa eppa’ (segi empat belah ketupat). Sebagai simbol alam raya, adapun upacara-upacara yang biasa dilakukan pada badan rumah ini adalah upacara mendre bola baru (naik rumah baru), upacara mappanre tau mangngideng, upacara mattoana isi (menyambut tumbuhnya gigi), upacara mappano bine (menabur benih) untuk menghormati Indo Pare (Dewi Sri—Dewi Padi), upacara mappanre Dewata (memberi makan Dewata).
Jadi, karya seni tidak hanya menghasilkan sesuatu yang indah tetapi memiliki makna simbolis dan fungsional di dalamnya. Hal tersebut nampak pada konstruksi rumah Bugis. Di mana nilai ideal direpresentasikan ke dunia riil sebagai wujud pemaknaan akan hidup yang religius dan memberikan manfaat pada pelaku seni tersebut. Bangunan rumah tersebut dibuat tidak hanya memberi fungsi tetapi juga memberi nilai estetik yang pada dasarnya merupakan bentuk prilaku spiritual para pemiliknya. Hal tersebut terlihat pada bagaimana mereka membuat ruang sesuai dengan pandangan kosmologis mereka.
Demikian penulis bahas tentang arsitektur rumah pada masyarakat bugis dan pemaknaannya semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan teman-teman tentang arsitektur rumah pada masyarakat bugis dan pemaknaannya dan apabila anda mendapatkan kendala dalam memahami apa yang penulis bahas mohon komentarnya di Post komentar. Salam yupiter.com

Post a Comment

0 Comments