Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Pendahuluan
Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi
untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut
adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi
keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang
mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan
tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing
tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak
masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan
kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme,
yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model
multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat
sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya
seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat
yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini
sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa
yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32
UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di
daerah"
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin
dapat terwujud bila: (1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa
Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk
mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan pemahaman diantara para ahli mengenai
makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya, dan (3) Upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme
adalah adalah sebuah konsep asing. Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para
ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di media massa daripada yang sudah ada selama ini.
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secarasukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan
kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan
moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai
dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan,
yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakatmasyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau
dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit
hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an
dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan
Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak
Sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang
tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan
Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha
(lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai
hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak
kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan
bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992)
dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat
pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah dengan cara
menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolahsekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa
lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahaptahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists
now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan
gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang
dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan,
karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup
masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologiideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya
dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan
pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan
serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus
dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang
multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain
adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan
yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsepkonsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..
0 Comments